Minggu, 03 Mei 2015

MAKALAH TRANSPLANTASI DAN EUTHANASIA



PENDAHULUAN

Badai Krisis multidimensi masih terus berkecamuk. Sektor industri masih belum menampakkan kepulihannya. Harga barang melambung tinggi karena bisa jadi kenaikan Bahan Bakar Minyak yang terjadi beberapa waktu lalu.  Lalu dalam kondisis yang seperti saat ini, masyarakat kecil lah yang paling merasakan dampaknya. Akibatnya sebagian kebutuhan mereka terabaikan.
Yang memprihatinkan jika yang muncul yaitu masalah terkait kesehatan. Sering muncul kasus, bahwa keluarga yang kurang tercukupi kebutuhannya tersebut menderita penyakit yang kronis, tapi membiarkan penyakit itu menggerogoti tubuh. Paling banter hanya sekedar berobat ala kadarnya. Tidak lain dan tidak bukan karena biaya ke dokter dan harga obat obatan yang dirasa cukup mahal.  Hal ini dapat menjadi lebih parah jika dibiarkan berlarut larut. Faktor ekonomi merupakan pemicu utama dalam mempengaruhi sikap dalam mengambil tindakan seseorang yang mengalami permasalahan terkait kesehatan.
Selain itu banyak orang yang dapat mempertahankan hidup dengan cara mencangkokkan organ tubuh. Transplantansi organ tubuh itu termasuk masalah ijtihad, karena tidak terdapat hukumnya di Al Qur’an maupun Sunnah, dan mengingat masalah transplantansi itu merupakan masalah yang kompleks, menyangkut berbagai bidang studi, maka seharusnya masalah ini dianalisis dengan memakai pendekatan multidisipliner, misalnya kedokteran, biologi, hukum, etika, dan agama agar bisa diperoleh kesimpulan berupa hukum ijtihad yang proporsional dan mendasar.
 Dalam makalah ini akan sedikit dijelaskan terkait transplantansi dan euthanasia yang terkadang menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Bagaimana pandangan ajaran Islam terkait permasalahan tersebut. Dan bagaimana pula realitas yang terjadi di masyarakat. 

  PEMBAHASAN

C.  Pengertian Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh
Transplantasi (pencangkokan) adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi. Transplantasi ini dilakukan dengan memindahkan sebagian atau seluruh jaringan atau organ dari satu individu pada individu itu sendiri atau pada individu lainnya baik yang sama maupun beda spesies.
D.  Donor Anggota Tubuh
Pada zaman sekarang banyak dilihat adanya donor darah (yang merupakan bagian dari tubuh manusia). Masalah “donor darah” telah merata di negara-negara muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya, bahkan mereka ikut menganjurkannya, lebih dari itu, mereka ikut menjadi donor. Hal ini menunjukkan adanya ijma’ sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam), yang menunjukkan bahwa donor darah dapat diterima syara’ (hukum islam).
Didalam kaidah syar’iyyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin, karena itu disyariatkan untuk menolong orang yang sedang dalam keadaan tertekan, menolong yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwa maupun lainnya.
Dengan alasan itu, maka menghilangkan penderitaan seorang muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, merupakan perbuatan yang terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Bahkan tidak diragukan lagi, bahwa hal itu termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama menurut pandangan syara’ (hukum islam). Namun demikian, seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ utbuhnya yang justru akan menimbulkan bahaya atau kesengsaraan bagi dirinya, atau merugikan seseorang yang mempunyai hak tetap atas dirinya.
Dengan demikian, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang hanya satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena ia tidak mungkin hidup tanpa organ tersebut.
            Kaidah Ushuliyyah mengatakan:
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Tidak diperbolehkan menghilangkan dharar (bahaya) dengan menimbulkan dharar (bahaya) pula.”
Tidak boleh menghilangkan dharar (bahaya) pada orang lain dengan menimbulkan dharar (bahaya) yang sama pada dirinya, apalagi bahayanya lebih besar daripadanya. Karena itu, tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena cara yang demikian itu berarti menghilangkan dharar (bahaya) orang lain dengan menimbulkan dharar (bahaya) yang lebih besar pada dirinya.
E.  Tipe-Tipe Donor Anggota Tubuh
Ada 3 (tiga ) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai permasalahannya sendiri, yaitu :
1.      Donor dalam keadaan hidup sehat
Tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan pemeriksaan kesehatan yang lengakap, baik terhadap donor maupun terhadap penerima (resipien), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh karena penolakan tubuh resipien, dan sekaligus untuk mencegah resiko bagi donor.
2.      Donor dalam keadaan koma.
Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut, setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya. Hanya, kriteria mati secara medis klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas. Apakah kriteria mati itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernafasan ataukah ditandai dengan berhentinya fungsi otak.penegasan kriteria mati secara klinis dan yuridis itu sangat penting bagi dokter sebagai pegangan dalam menjalankan tugasnya, sehingga ia tidak khawatir dituntut melakukan pembunuhan berencana oleh keluarga yang bersangkutan sehubungan dengan praktek transplantasi itu.

3.      Donor dalam keadaan meninggal
Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dinggap meninggal secara medis dan yuridis dan harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang mau dambil untuk transplantasi.
F.   Syarat-Syarat Transplantasi
Syarat-syarat yang membolehkan transplantasi organ, antara lain :
a.         Orang yang akan menyumbangkan organ adalah orang yang memiliki kepemilikan penuh atas miliknya sehingga dia mampu untuk membuat keputusan sendiri.
b.         Orang yang akan menyumbangkan organ harus seseorang yang dewasa atau usianya mencapai dua puluh tahun.
c.         Harus dilakukan atas keinginannya sendiri tanpa tekanan atau paksaan dari siapapun.
d.        Organ yang disumbangkan tidak boleh organ vital yang mana kesehatan dan kelangsungan hidup tergantung dari itu.
e.         Tidak diperbolehkan mencangkok organ kelamin.
f.          Dilakukan setelah memastikan bahwa si penyumbang ingin menyumbangkan organnya setelah dia sudah meninggal. Bisa dilakukan melalui surat wasiat atau menandatangani kartu donor atau yang lainnya.
g.         Jika terdapat kasus si penyumbang organ belum memberikan persetujuan terlebih dahulu tentang menyumbangkan organnya ketika dia meninggal maka persetujuan bisa dilimpahkan kepada pihak keluarga penyumbang terdekat yang dalam posisi dapat membuat keputusan atas penyumbang.
h.         Organ atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah organ atau jaringan yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup manusia lainnya.
i.           Organ yang akan disumbangkan harus dipindahkan setelah dipastikan secara prosedur medis bahwa si penyumbang organ telah meninggal dunia.
j.           Organ tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari korban kecelakaan lalu lintas yang identitasnya tidak diketahui tapi hal itu harus dilakukan dengan seizin hakim.
G. Hukum Transplantasi
1.      Hukum donor dalam keadaan hidup sehat
Apabila pencangkokan mata (selaput bening mata atau kornea mata), ginjal, atau jantung dari donor dalam keadaan hidup sehat, maka islam tidak membenarkan (melarang), karena :
a.       Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 195 :
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ  
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan.”
Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabah berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan yang luhur.
Misalnya seorang menyumbangkan sebuah matanya atau sebuah ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak berfungsi ginjalnya, sebab selain ia mengubah ciptaan Allah yang membuat mata dan ginjal berpasangan, juga ia menghadapi risiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu.
b.      Kaidah Hukum Islam
“Menghindari kerusakan risiko didahulukan atas menarik kemaslahatan”.
Misalnya, menolong orang dengan cara mengorbankan dirinya sendiri yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, tidak diperbolehkan oleh islam.
2.      Hukum Donor Dalam Keadaan Koma
Apabila pencangkokan mata, ginjal, atau jantung dari donor dalam keadaan koma atau hampir meninggal; maka islam pun tidak mengizinkan, karena :
Hadits Nabi riwayat Malik dari Amar bin Yahya, riwayat Al Hakim, Al Baihaqi, dan Al Daruqutni dari Abu Sa’id Al Hudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bi Al Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat mudharat pada dirinya dan tidak boleh pula membuat mudharat pada orang lain”.
Misalnya orang yang mengambil organ tubuh dari seorang donor yang belum mati secara klinis dan yuridis untuk transplantasi, berarti ia membuat mudharat kepada donor yang berakibat mempercepat kematiannya. Manusia wajib berikhtiyar untuk menyembuhkan penyakitnya, demi mempertahankan hidupnya; tetapi hidup dan mati itu ditangan Allah. Karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri (bunuh diri) atau mempercepat kematian orang lain sekalipun dilakukan oleh dokter dengan maksud untuk menguraikan menghentikan penderitaan si pasien.
3.      Hukum Donor Dalam Keadaan Meninggal
Apabila pencangkokan mata, ginjal, atau jantung dari donor yang telah meninggal secara yuridis dan klinis, maka Islam membolehkan dengan syarat :
a.       Resipien (penerima sumbangan donor) berada dalam keadaan darurat, yang mengancam jiwanya, dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan nonmedis, tetapi tidak berhasil.
b.      Pencangkokan tidak akan menimbulkan komlikasi penyakit yang lebih gawat bagi resipien dibanding dengan keadaannya sebelum pencangkokan.
Adapun dalil syar’i yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan pencangkokan organ tubuh tersebut sebagai berikut :
a.       Al-Qur’an surat Al Maidah ayat 32
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia. Misalnya, seorang yang menemukan bayi di sampah, wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Demikian pula seorang yang dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhnya (mata, ginjal, atau jantung) setelah ia meninggal, maka Islam membolehkan bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilanya, karena menolong jiwa sesama manusia atau membantu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
b.      Hadis Nabi
“berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit, kecuali Dia juga meletakkan obat penyembuhannya selain penyakit tua.” (HR. Ahmad bin Hanbal, Al Tirmidzi, Abu Daud, Al nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim dari Usman bin Syarik).
Hadis ini menunjukkan bahwa Umat Islam wajib berobat jika menderita sakit, apapun macam penyakitnya, sebab setiap penyakit berkah kasih sayang Allah, pasti ada obat penyembuhnya, kecuali sakit tua. Karena itu penyakit yang sangat ganas seperti kanker dan AIDS yang telah banyak membawa korban manusia di seluruh dunia, terutama di dunia barat, yang hingga kini belum diketahui obatnya, maka pada suatu waktu akan ditemukan pula obatnya.
c.       Kaidah Hukum Islam
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu dilenyapkan/dihilangkan.”
Seorang yang menderita sakit jantung atau ginjal yang sudah mencapai stadium yang gawat, maka ia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah hukum di atas bahaya maut itu harus ditanggulangi dengan usaha-usaha pengobatan. Dan jika usaha pengobatan secara medis tidak bisa menolong, maka demi menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau ginjal diperbolehkan karena keadaan darurat.
H.  Donor Organ Babi
Jika tidak ditemukan organ lain, bolehkan transplantasi menggunakan organ babi ? Menanggapi masalah ini, kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa seseorang boleh menyambung tulangnya dengan benda najis, jika memang tidak ada benda lain yang sama atau lebih efektif. Jadi, organ babi baru dibolehkan jika tidak ada organ lain yang menyamainya. Menurut Hanafiyah, berobat dengan barang haram, tidak dibolehkan. Memang ada dhahir hadits yang melarangnya, yaitu:
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi kalian didalam sesuatu yang haram.”

Menurut pendapat kami donor anggota tubuh itu diperbolehkan kecuali ada larangannya. Dengan begitu donor anggota tubuh, baik donor organ tubuh dalam keadaan hidup sehat, donor dalam keadaan koma, dan donor dalam keadaan meninggal itu diperbolehkan. Proses transplantasi dapat dilakukan dengan berbagai alasan yaitu : tidak mendatangkan bahaya (mudharat) bagi pendonor dan penerima donor, antara pendonor dan penerima donor sama-sama ikhlas dan rela mendonorkan dan menerima donor tersebut, harus ada izin dari yang punya dan ahli waris, dan organ yang disumbangkan haruslah organ yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup penerima donor.
Dalam Al-Qur’an surat Al Maidah ayat 32 yang berbunyi :
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Artinya :
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia.
Dalam kaidah hukum Islam juga disebutkan bahwa “Bahaya itu harus dihilangkan” atau الضَّرَرُ يُزَالُ. Didalam kaidah Hukum Islam ini ditetapkan bahwa mudharat itu harus dihilangkan sedapat mungkin, karena itu disyariatkan untuk menolong orang yang sedang dalam keadaan tertekan., menolong yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwa maupun lainnya.
Diatas sudah kami jelaskan bahwa transplantasi dalam keadaan apapun itu diperbolehkan asalkan tidak ada larangannya. Akan tetapi apabila transplantasi itu mendatangkan mudharat bagi pendonor dan penerima donor dan transplantasi itu dilakukan karena keterpaksaan makan transplantasi organ tubuh dalam keadaan apapun tidak diperbolehkan.
Dalam Hadis Nabi saw disebutkan bahwa “Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain.”
Transplantasi dengan menggunakan organ babi menurut pendapat kami tidak diperbolehkan. Kami sepakat dengan pendapat Hanafiyah,  karena dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi kalian didalam sesuatu yang haram.” Disini sudah jelas bahwa Allah tidak menjadikan barang yang haram sebagai obat, misalnya babi. Akan tetapi apabila dalam keadaan darurat/mendesak dan obat yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut sukar ditemukan, sedangkan penyakit tersebut hanya bisa disembuhkan dengan organ babi maka donor dengan menggunakan organ babi diperbolehkan.

I.         EUTHANASIA
  1. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003: 177). Dalam bahasa Arab, Euthanasia dikenal dengan istilah qatl ar-rahma atau taysîr al-maut
Euthanasia yakni menghilangkan derita si Sakit dengan jalan mengakhiri kehidupannya.
  1. Macam Macam Euthanasia
1)      Euthanasia Aktif
Disebut euthanasia aktif apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya dengan sengaja melakukan tindakan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien, atau tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Contohnya : Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering pingsan.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus. (Utomo, 2003: 178). Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah SWT yang sudah menjadi ketetapanNya.
Kode etik kedokteran Islami yang disahkan oleh Konferensi Internasional Pengobatan Islam yang pertama (The First International Conference of Islamic Medical) menyatakan bahwa euthanasia aktif sama halnya dengan bunuh diri dan hal ini tidak dibenarkan.
2)      Euthanasia Pasif
Yakni apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan yang dapat memperpanjang hidup pasien.Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, dan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Misalnya, orang sakit sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka penderita bisa meninggal. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya. (Utomo, 2003: 177).
  1. Kasus Euthanasia
Contoh kasus euthanasia khususnya di negara Indonesia yaitu kasusnya Panca Satria H.K, ia tidak tega melihat penderitaan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun terbaring karena koma selama 3 bulan pasca operasi Caesar. Selain itu faktor ekonomi juga menjadi alasan utamanya. Kemudian Panca Satria H.K mengajukan surat izin Euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta, hal tersebut di tolak oleh Pengadilan. Dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.
  1. Analisis Kasus Euthanasia
            Dalam hal ini Euthanasia aktif hukumnya yaitu haram menurut syariat Islam, karena dokter secara sengaja melakukan tindakan aktif dengan memberikan obat overdosis yang pada hakikatnya merupakan racun yang sangat berat dan mempunyai efek mematikan bagi pasien. Hal ini dapat di kategorikan pembunuhan secara sengaja. Meskipun dokter melakukan atas dasar rasa kasihan terhadap pasien. Seperti Firman Allah SWT dalam QS. An Nisa ayat 29 :
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
                                    Sedangkan Euthanasia pasif,Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka semua berkisar pada `menghentikan pengobatan` atau tidak memberikan pengobatan. Dalam kasus ini dokter sudah tidak mampu lagi memberikan pertolongan medis. Islam sangat memperhatikan keselamatan dan kehidupan manusia. Karena itulah Islam melarang seseorang melakukan bunuh diri. Sebab, pada hakikatnya jiwa yang bersemayam pada jasadnya bukanlah milik sendiri. Sebaliknya jiwa merupakan titipan Allah SWT yang harus dipelihara dan digunakan secara benar. Maka dari itu, dia tidak boleh membunuh dirinya sendiri.
Disebutkan pada HR. Bukhari dan Muslim dari Jundub bin Abdullah r.a :
Telah ada sebelum kamu seseorang laki laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah bersabda,”Hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.”
“Barangsiapa menghempaskan diri dari sebuah bukit, lalu ia menewaskan dirinya, maka ia akan masuk neraka dalam keadaan terhempas di dalamnya, kekal lagi dikekalkan di neraka untuk selama lamanya. Dan barang siapa menenguk racun lalu menewaskan dirinya, maka racun itu tetap di tangannya sambil ia menegukkannya didalam neraka jahanam, kekal lagi dikekalkan didalamnya selama lamanya. Dan barangsiapa membunuh dirinya dengan sepotong besi, maka besinya itu terus berada ditangannya ia tikamkan ke perutnya didalam api neraka jahanam selama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Dhahak r.a )
Oleh karena itu seseorang dilarang keras membunuh orang lain. Islam memberikan ancaman dan juga sanksi bagi pelakunya. Allah berfirman dalam QS An Nisa ayat 93:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُعَذَابًا عَظِيمًا
Artinya : Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
            Allah SWT berfirman dalam QS An Nisa ayat 29-30 :

وَلَا تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ أِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمٌا. وَ مَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَاناٌ وَظُلْماٌ فَسَوْفَ نُصْلِيْهِ نَارٌا وَ كَا نَ ذَلِكَ عَلىَ اللهِ يَسِيْرٌا
Dan janganlah kamu membunuh dirimu (sendiri). Sesungguhnya Allah SWT Maha Penyayang kepadamu. Dan barang  siapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam api neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
Dalam komentarnya mengenai ayat ini, Imam Fakhrurazi menyatakan bahwa secara fitrah, manusia beriman tidak akan melakukan tindakan bunuh diri. Akan tetapi dalam kondisi tertentu misalnya karena frustasi, mengalami kegagalan, dan sebagainya akan terbuka peluang cukup besar untuk melakukannya. Dalam rangka itulah Al Qur’an melarang keras kaum mukminin untuk melakukan bunuh diri. Karena alasan itu pula, seseorang pesakitan dalam Islam dianjurkan untuk segera berobat. Sebab, orang berobat pada hakikatnya dalam rangka mempertahankan kehidupannya
Beberapa fuqaha terkait masalah berobat sebagian besar dari mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menanggapnya mustahab dan sebagian kecil lebih sedikit dari golongan kedua berpendapat wajib. Dalam hal ini saya sependapat dengan yang ketiga yaitu mewajibkan berobat.
Apabila ada seseorang yang sakit dan tidak berobat, hal itu dilakukan karena orang tersebut sudah pasrah total kepada Allah SWT., menurut kami hal tersebut tidak di benarkan, karena seseorang yang sakit harus berusaha mencari obat untuk kesembuhan penyakitnya, jika sudah berusaha semaksimal mungkin namun belum mendapat kesembuhan maka bertawakkal kepadaNya. Dalam soal muamalah duniawiyah, muncul kaidah ushuliyyah “Asal segala sesuatu boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.  
Secara Global kalangan Syafi’iyah dan jumhur Ulama membagi pidana pembunuhan menjadi tiga yaitu :
  1. Pembunuhan Secara Sengaja (al qatl al’amd)
            Yakni pembunuhan yang dilakukan secara sengaja menggunakan alat atau benda yang biasanya dapat mematikan. Seperti menggunakan pisau, sabit, besi, dan racun.
  1. Pembunuhan Semi Sengaja (al qatl al syabih al ‘amd)
            Yakni pembunuhan secara sengaja dengan menggunakan benda yang biasanya tidak mematikan. Misalnya memukul secara pelan dengan menggunakan cambuk atau tangan.
  1. Pembunuhan Keliru (al qatl al khatha’)
       Artinya pembunuhan yang dilakukan secara tak sengaja. Misalnya seseorang jatuh mengenai orang lain kemudian orang tersebut meninggal.
Euthanasia aktif masuk dalam kategori pembunuhan sengaja, karena dokter melakukan hal itu secara sengaja dan jelas jelas menggunakan obat yang dapat mempercepat kematian pasien. Konsekuensinya dalam hal ini dokter mendapat hukuman Qishash(hukuman mati karena membunuh). Kemudian, Euthanasia Positif  yaitu inisiatif untuk melakukan euthanasia timbul dari pasien. Maka dokter dikenai ta’zir. Dalam hal ini hukuman diserahkan penuh atas kebijakan hakim. Sedangkan pasien dianggap melakukan bunuh diri.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i).
Menurut kami sependapat dengan hadits di atas,terkait kasus euthanasia baik aktif maupun pasif tidak diperbolehkan, karena hal tersebut merampas hak untuk hidup seseorang. Hak hidup yang pada dasarnya hak fundamental atau hak asasi dari setiap manusia. UUD tahun 1945 melindungi hak tersebut dalam BAB XA pasal 28 A yang menyebutkan yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya.  
Selain itu dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).




 PENUTUP

Transplantasi (pencangkokan) adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik. Transplantasi dikelompokkan menjadi tiga yaitu donor dalam keadaan hidup sehat, donor dalam keadaan koma, donor dalam keadaan meninggal. Donor anggota tubuh itu diperbolehkan kecuali ada larangannya. Dengan begitu ketiga jenis donor tersebut diperbolehkan. Proses transplantasi dapat dilakukan dengan berbagai alasan yaitu : tidak mendatangkan bahaya (mudharat) bagi pendonor dan penerima donor, antara pendonor dan penerima donor sama-sama ikhlas dan rela mendonorkan dan menerima donor tersebut, harus ada izin dari yang punya dan ahli waris, dan organ yang disumbangkan haruslah organ yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup penerima donor. Selain itu ada donor dengan menggunakan organ babi. Menurut Hanafiyah, berobat dengan barang haram, tidak dibolehkan. Memang ada dhahir hadits yang melarangnya, yaitu: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi kalian didalam sesuatu yang haram.”
Sedangkan Euthanasia merupakan menghilangkan derita si Sakit dengan jalan mengakhiri kehidupannya. Euthanasia dikelompokkan menjadi dua macam yaitu euthanasia aktif (dokter mempercepat kematian pasien dengan cara memberikan suntikan atau racun ) dan euthanasia pasif (penghentian pengobatan terhadap pasien).
Kedua euthanasia ini tidak di boleh dilakukan menurut Islam karena Penderita yang menghabisi nyawanya dengan tangannya sendiri atau bantuan orang lain(dokter) itu berarti ia mendahului atau melanggar kehendak dan wewenang Tuhan. Al Qur’an melarang keras kaum mukminin untuk melakukan bunuh diri. Karena alasan itu pula, seseorang pesakitan dalam Islam dianjurkan untuk segera berobat. Sebab, orang berobat pada hakikatnya dalam rangka mempertahankan kehidupannya
Beberapa fuqaha terkait masalah berobat sebagian besar dari mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menanggapnya mustahab dan sebagian keci lebih sedikit dari golongan kedua berpendapat wajib. Dalam hal ini saya sependapat dengan yang ketiga yaitu mewajibkan berobat.Seharusnya ia bersikap sabar dan tawakkal menghadapi musibah, seraya tetap berikhtiar mengatasi musibah dan berdoa kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hafidz, Ahsin W. FIKIH KESEHATAN. 2010. AMZAH. Jakarta
Umam, Cholil. Agama Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern. 1994. Ampel Suci. Surabaya
Yasid, Abu. Fiqh Realitas Respon Ma’had Ali Terhadap Wacana Hukum Islam). 2005. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam. 1989. Haji Mas Agung. Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar