PENDAHULUAN
Badai Krisis
multidimensi masih terus berkecamuk. Sektor industri masih belum menampakkan
kepulihannya. Harga barang melambung tinggi karena bisa jadi kenaikan Bahan
Bakar Minyak yang terjadi beberapa waktu lalu.
Lalu dalam kondisis yang seperti saat ini, masyarakat kecil lah yang
paling merasakan dampaknya. Akibatnya sebagian kebutuhan mereka terabaikan.
Yang memprihatinkan
jika yang muncul yaitu masalah terkait kesehatan. Sering muncul kasus, bahwa
keluarga yang kurang tercukupi kebutuhannya tersebut menderita penyakit yang
kronis, tapi membiarkan penyakit itu menggerogoti tubuh. Paling banter hanya
sekedar berobat ala kadarnya. Tidak lain dan tidak bukan karena biaya ke dokter
dan harga obat obatan yang dirasa cukup mahal.
Hal ini dapat menjadi lebih parah jika dibiarkan berlarut larut. Faktor
ekonomi merupakan pemicu utama dalam mempengaruhi sikap dalam mengambil
tindakan seseorang yang mengalami permasalahan terkait kesehatan.
Selain itu banyak
orang yang dapat mempertahankan hidup dengan cara mencangkokkan organ tubuh.
Transplantansi organ tubuh itu termasuk masalah ijtihad, karena tidak terdapat
hukumnya di Al Qur’an maupun Sunnah, dan mengingat masalah transplantansi itu
merupakan masalah yang kompleks, menyangkut berbagai bidang studi, maka seharusnya
masalah ini dianalisis dengan memakai pendekatan multidisipliner, misalnya
kedokteran, biologi, hukum, etika, dan agama agar bisa diperoleh kesimpulan
berupa hukum ijtihad yang proporsional dan mendasar.
Dalam
makalah ini akan sedikit dijelaskan terkait transplantansi dan euthanasia yang
terkadang menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Bagaimana pandangan
ajaran Islam terkait permasalahan tersebut. Dan bagaimana pula realitas yang
terjadi di masyarakat.
PEMBAHASAN
C. Pengertian Transplantasi
(Pencangkokan) Organ Tubuh
Transplantasi (pencangkokan) adalah pemindahan
organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh
yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan
prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
Transplantasi ini dilakukan dengan memindahkan sebagian atau seluruh jaringan
atau organ dari satu individu pada individu itu sendiri atau pada individu
lainnya baik yang sama maupun beda spesies.
D. Donor Anggota Tubuh
Pada zaman sekarang banyak dilihat adanya donor
darah (yang merupakan bagian dari tubuh manusia). Masalah “donor darah” telah
merata di negara-negara muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya,
bahkan mereka ikut menganjurkannya, lebih dari itu, mereka ikut menjadi donor.
Hal ini menunjukkan adanya ijma’ sukuti (kesepakatan ulama secara
diam-diam), yang menunjukkan bahwa donor darah dapat diterima syara’
(hukum islam).
Didalam kaidah syar’iyyah ditetapkan bahwa
mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin, karena itu disyariatkan untuk
menolong orang yang sedang dalam keadaan tertekan, menolong yang terluka,
memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang
sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwa
maupun lainnya.
Dengan alasan itu, maka menghilangkan penderitaan
seorang muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah
satu ginjalnya yang sehat, merupakan perbuatan yang terpuji dan berpahala bagi
orang yang melakukannya. Bahkan tidak diragukan lagi, bahwa hal itu termasuk
jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama menurut pandangan syara’
(hukum islam). Namun demikian, seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ
utbuhnya yang justru akan menimbulkan bahaya atau kesengsaraan bagi dirinya,
atau merugikan seseorang yang mempunyai hak tetap atas dirinya.
Dengan demikian, tidak diperkenankan seseorang
mendonorkan organ tubuh yang hanya satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati
atau jantung, karena ia tidak mungkin hidup tanpa organ tersebut.
Kaidah Ushuliyyah mengatakan:
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Tidak diperbolehkan menghilangkan dharar (bahaya)
dengan menimbulkan dharar (bahaya) pula.”
Tidak boleh menghilangkan dharar (bahaya)
pada orang lain dengan menimbulkan dharar (bahaya) yang sama pada
dirinya, apalagi bahayanya lebih besar daripadanya. Karena itu, tidak boleh
mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena
cara yang demikian itu berarti menghilangkan dharar (bahaya) orang lain
dengan menimbulkan dharar (bahaya) yang lebih besar pada dirinya.
E. Tipe-Tipe Donor Anggota
Tubuh
Ada 3 (tiga ) tipe donor organ tubuh, dan setiap
tipe mempunyai permasalahannya sendiri, yaitu :
1. Donor dalam keadaan hidup
sehat
Tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan
pemeriksaan kesehatan yang lengakap, baik terhadap donor maupun terhadap
penerima (resipien), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan
oleh karena penolakan tubuh resipien, dan sekaligus untuk mencegah resiko bagi
donor.
2. Donor dalam keadaan koma.
Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor
memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat
pernafasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut,
setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya. Hanya, kriteria mati secara
medis klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas. Apakah
kriteria mati itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernafasan
ataukah ditandai dengan berhentinya fungsi otak.penegasan kriteria mati secara
klinis dan yuridis itu sangat penting bagi dokter sebagai pegangan dalam
menjalankan tugasnya, sehingga ia tidak khawatir dituntut melakukan pembunuhan
berencana oleh keluarga yang bersangkutan sehubungan dengan praktek transplantasi
itu.
3. Donor dalam keadaan
meninggal
Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara
medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dinggap meninggal secara medis dan
yuridis dan harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang mau dambil
untuk transplantasi.
F. Syarat-Syarat
Transplantasi
Syarat-syarat
yang membolehkan transplantasi organ, antara lain :
a.
Orang yang akan menyumbangkan organ adalah orang
yang memiliki kepemilikan penuh atas miliknya sehingga dia mampu untuk membuat
keputusan sendiri.
b.
Orang yang akan menyumbangkan organ harus seseorang
yang dewasa atau usianya mencapai dua puluh tahun.
c.
Harus dilakukan atas keinginannya sendiri tanpa
tekanan atau paksaan dari siapapun.
d.
Organ yang disumbangkan tidak boleh organ vital
yang mana kesehatan dan kelangsungan hidup tergantung dari itu.
e.
Tidak diperbolehkan mencangkok organ kelamin.
f.
Dilakukan setelah memastikan bahwa si penyumbang
ingin menyumbangkan organnya setelah dia sudah meninggal. Bisa dilakukan
melalui surat wasiat atau menandatangani kartu donor atau yang lainnya.
g.
Jika terdapat kasus si penyumbang organ belum
memberikan persetujuan terlebih dahulu tentang menyumbangkan organnya ketika
dia meninggal maka persetujuan bisa dilimpahkan kepada pihak keluarga
penyumbang terdekat yang dalam posisi dapat membuat keputusan atas penyumbang.
h.
Organ atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah
organ atau jaringan yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan
kualitas hidup manusia lainnya.
i.
Organ yang akan disumbangkan harus dipindahkan
setelah dipastikan secara prosedur medis bahwa si penyumbang organ telah
meninggal dunia.
j.
Organ tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari
korban kecelakaan lalu lintas yang identitasnya tidak diketahui tapi hal itu
harus dilakukan dengan seizin hakim.
G. Hukum Transplantasi
1. Hukum donor dalam keadaan
hidup sehat
Apabila pencangkokan mata (selaput bening mata
atau kornea mata), ginjal, atau jantung dari donor dalam keadaan hidup sehat,
maka islam tidak membenarkan (melarang), karena :
a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 195 :
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan.”
Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabah
berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai
tujuan kemanusiaan yang luhur.
Misalnya seorang menyumbangkan sebuah matanya atau
sebuah ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak berfungsi ginjalnya,
sebab selain ia mengubah ciptaan Allah yang membuat mata dan ginjal berpasangan,
juga ia menghadapi risiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak
berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu.
b. Kaidah Hukum Islam
“Menghindari kerusakan risiko didahulukan atas menarik kemaslahatan”.
Misalnya, menolong orang dengan cara mengorbankan
dirinya sendiri yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, tidak diperbolehkan
oleh islam.
2. Hukum Donor Dalam Keadaan
Koma
Apabila
pencangkokan mata, ginjal, atau jantung dari donor dalam keadaan koma atau
hampir meninggal; maka islam pun tidak mengizinkan, karena :
Hadits Nabi
riwayat Malik dari Amar bin Yahya, riwayat Al Hakim, Al Baihaqi, dan Al
Daruqutni dari Abu Sa’id Al Hudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan
Ubadah bi Al Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat mudharat pada
dirinya dan tidak boleh pula membuat mudharat pada orang lain”.
Misalnya orang yang
mengambil organ tubuh dari seorang donor yang belum mati secara klinis dan
yuridis untuk transplantasi, berarti ia membuat mudharat kepada donor yang berakibat
mempercepat kematiannya. Manusia wajib berikhtiyar untuk menyembuhkan
penyakitnya, demi mempertahankan hidupnya; tetapi hidup dan mati itu ditangan
Allah. Karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri (bunuh diri)
atau mempercepat kematian orang lain sekalipun dilakukan oleh dokter dengan
maksud untuk menguraikan menghentikan penderitaan si pasien.
3. Hukum Donor Dalam Keadaan
Meninggal
Apabila
pencangkokan mata, ginjal, atau jantung dari donor yang telah meninggal secara
yuridis dan klinis, maka Islam membolehkan dengan syarat :
a. Resipien (penerima sumbangan
donor) berada dalam keadaan darurat, yang mengancam jiwanya, dan ia sudah
menempuh pengobatan secara medis dan nonmedis, tetapi tidak berhasil.
b. Pencangkokan tidak akan
menimbulkan komlikasi penyakit yang lebih gawat bagi resipien dibanding dengan keadaannya
sebelum pencangkokan.
Adapun dalil syar’i yang dapat
dijadikan dasar untuk membolehkan pencangkokan organ tubuh tersebut sebagai
berikut :
a. Al-Qur’an surat Al Maidah
ayat 32
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
“Dan
barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia
memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai
tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia. Misalnya, seorang
yang menemukan bayi di sampah, wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya.
Demikian pula seorang yang dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhnya
(mata, ginjal, atau jantung) setelah ia meninggal, maka Islam membolehkan
bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilanya,
karena menolong jiwa sesama manusia atau membantu berfungsinya kembali organ
tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
b. Hadis Nabi
“berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak
meletakkan suatu penyakit, kecuali Dia juga meletakkan obat penyembuhannya
selain penyakit tua.” (HR. Ahmad
bin Hanbal, Al Tirmidzi, Abu Daud, Al nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan
Hakim dari Usman bin Syarik).
Hadis ini menunjukkan bahwa Umat Islam wajib
berobat jika menderita sakit, apapun macam penyakitnya, sebab setiap penyakit
berkah kasih sayang Allah, pasti ada obat penyembuhnya, kecuali sakit tua.
Karena itu penyakit yang sangat ganas seperti kanker dan AIDS yang telah banyak
membawa korban manusia di seluruh dunia, terutama di dunia barat, yang hingga
kini belum diketahui obatnya, maka pada suatu waktu akan ditemukan pula
obatnya.
c. Kaidah Hukum Islam
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu dilenyapkan/dihilangkan.”
Seorang yang menderita sakit jantung atau ginjal
yang sudah mencapai stadium yang gawat, maka ia menghadapi bahaya maut
sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah hukum di atas bahaya maut itu harus ditanggulangi
dengan usaha-usaha pengobatan. Dan jika usaha pengobatan secara medis tidak
bisa menolong, maka demi menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau
ginjal diperbolehkan karena keadaan darurat.
H. Donor Organ Babi
Jika tidak ditemukan organ
lain, bolehkan transplantasi menggunakan organ babi ? Menanggapi masalah ini, kalangan
Syafi’iyah berpendapat bahwa seseorang boleh menyambung tulangnya dengan
benda najis, jika memang tidak ada benda lain yang sama atau lebih efektif.
Jadi, organ babi baru dibolehkan jika tidak ada organ lain yang menyamainya.
Menurut Hanafiyah, berobat dengan barang haram, tidak dibolehkan. Memang
ada dhahir hadits yang melarangnya, yaitu:
“Sesungguhnya Allah tidak
menjadikan obat bagi kalian didalam sesuatu yang haram.”
Menurut pendapat kami donor anggota
tubuh itu diperbolehkan kecuali ada larangannya. Dengan begitu donor anggota
tubuh, baik donor organ tubuh dalam keadaan hidup sehat, donor dalam keadaan
koma, dan donor dalam keadaan meninggal itu diperbolehkan. Proses transplantasi
dapat dilakukan dengan berbagai alasan yaitu : tidak mendatangkan bahaya
(mudharat) bagi pendonor dan penerima donor, antara pendonor dan penerima donor
sama-sama ikhlas dan rela mendonorkan dan menerima donor tersebut, harus ada
izin dari yang punya dan ahli waris, dan organ yang disumbangkan haruslah organ
yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup penerima
donor.
Dalam Al-Qur’an surat Al Maidah ayat 32 yang
berbunyi :
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Artinya :
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam
sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia.
Dalam kaidah hukum Islam juga
disebutkan bahwa “Bahaya itu harus dihilangkan” atau الضَّرَرُ يُزَالُ. Didalam kaidah Hukum Islam ini ditetapkan bahwa mudharat itu
harus dihilangkan sedapat mungkin, karena itu disyariatkan untuk menolong orang
yang sedang dalam keadaan tertekan., menolong yang terluka, memberi makan orang
yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan
orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwa maupun lainnya.
Diatas sudah kami jelaskan bahwa
transplantasi dalam keadaan apapun itu diperbolehkan asalkan tidak ada
larangannya. Akan tetapi apabila transplantasi itu mendatangkan mudharat bagi
pendonor dan penerima donor dan transplantasi itu dilakukan karena keterpaksaan
makan transplantasi organ tubuh dalam keadaan apapun tidak diperbolehkan.
Dalam Hadis Nabi saw disebutkan bahwa “Tidak boleh membuat
madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang
lain.”
Transplantasi
dengan menggunakan organ babi menurut pendapat kami tidak diperbolehkan. Kami
sepakat dengan pendapat Hanafiyah, karena dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “Sesungguhnya
Allah tidak menjadikan obat bagi kalian didalam sesuatu yang haram.” Disini
sudah jelas bahwa Allah tidak menjadikan barang yang haram sebagai obat,
misalnya babi. Akan tetapi apabila dalam keadaan darurat/mendesak dan obat yang
bisa menyembuhkan penyakit tersebut sukar ditemukan, sedangkan penyakit
tersebut hanya bisa disembuhkan dengan organ babi maka donor dengan menggunakan
organ babi diperbolehkan.
I.
EUTHANASIA
- Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti
“baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003: 177). Dalam
bahasa Arab, Euthanasia dikenal dengan istilah qatl ar-rahma atau taysîr
al-maut
Euthanasia yakni menghilangkan derita si Sakit dengan jalan mengakhiri
kehidupannya.
- Macam Macam Euthanasia
1)
Euthanasia Aktif
Disebut euthanasia aktif
apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya dengan sengaja melakukan tindakan
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien, atau tindakan dokter
mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien
tersebut. Contohnya : Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit
yang luar biasa sehingga pasien sering pingsan.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
(Utomo, 2003: 178). Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia
mengambil hak Allah SWT yang sudah menjadi ketetapanNya.
Kode etik kedokteran Islami yang disahkan oleh Konferensi Internasional
Pengobatan Islam yang pertama (The First International Conference of Islamic
Medical) menyatakan bahwa euthanasia aktif sama halnya dengan bunuh diri
dan hal ini tidak dibenarkan.
2) Euthanasia Pasif
Yakni apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi
memberikan bantuan yang dapat memperpanjang hidup pasien.Penghentian pengobatan ini
berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter
adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, dana yang dibutuhkan untuk
pengobatan sangat tinggi, dan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter
sudah tidak efektif lagi.
Misalnya, orang sakit sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada
otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka penderita bisa meninggal. Dalam
kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat
mempercepat kematiannya. (Utomo, 2003: 177).
- Kasus Euthanasia
Contoh kasus euthanasia khususnya di negara Indonesia yaitu kasusnya Panca
Satria H.K, ia tidak tega melihat penderitaan istrinya yang bernama Agian Isna
Nauli, 33 tahun terbaring karena koma selama 3 bulan pasca operasi Caesar.
Selain itu faktor ekonomi juga menjadi alasan utamanya. Kemudian Panca Satria
H.K mengajukan surat izin Euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta, hal tersebut
di tolak oleh Pengadilan. Dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi
terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan
kesehatannya.
- Analisis Kasus Euthanasia
Dalam hal ini Euthanasia aktif hukumnya yaitu haram menurut syariat Islam,
karena dokter secara sengaja melakukan tindakan aktif dengan memberikan obat
overdosis yang pada hakikatnya merupakan racun yang sangat berat dan mempunyai
efek mematikan bagi pasien. Hal ini dapat di kategorikan pembunuhan secara
sengaja. Meskipun dokter melakukan atas dasar rasa kasihan terhadap pasien.
Seperti Firman Allah SWT dalam QS. An Nisa ayat 29 :
وَلا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Sedangkan
Euthanasia pasif,Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka semua berkisar
pada `menghentikan pengobatan` atau tidak memberikan pengobatan. Dalam kasus
ini dokter sudah tidak mampu lagi memberikan pertolongan medis. Islam sangat memperhatikan keselamatan dan kehidupan manusia. Karena
itulah Islam melarang seseorang melakukan bunuh diri. Sebab, pada hakikatnya
jiwa yang bersemayam pada jasadnya bukanlah milik sendiri. Sebaliknya jiwa
merupakan titipan Allah SWT yang harus dipelihara dan digunakan secara benar.
Maka dari itu, dia tidak boleh membunuh dirinya sendiri.
Disebutkan pada HR. Bukhari
dan Muslim dari Jundub bin Abdullah r.a :
“Telah ada sebelum kamu seseorang
laki laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau
lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti henti
darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah bersabda,”Hambaku telah
menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga
untuknya.”
“Barangsiapa menghempaskan
diri dari sebuah bukit, lalu ia menewaskan dirinya, maka ia akan masuk neraka
dalam keadaan terhempas di dalamnya, kekal lagi dikekalkan di neraka untuk
selama lamanya. Dan barang siapa menenguk racun lalu menewaskan dirinya, maka
racun itu tetap di tangannya sambil ia menegukkannya didalam neraka jahanam,
kekal lagi dikekalkan didalamnya selama lamanya. Dan barangsiapa membunuh
dirinya dengan sepotong besi, maka besinya itu terus berada ditangannya ia
tikamkan ke perutnya didalam api neraka jahanam selama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Dhahak r.a )
Oleh karena itu seseorang
dilarang keras membunuh orang lain. Islam memberikan ancaman dan juga sanksi
bagi pelakunya. Allah berfirman dalam QS An Nisa ayat 93:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا
مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ
وَأَعَدَّ لَهُعَذَابًا عَظِيمًا
Artinya : Dan barang siapa
yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam,
kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.
Allah SWT berfirman
dalam QS An Nisa ayat 29-30 :
وَلَا تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ
أِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمٌا. وَ مَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَاناٌ وَظُلْماٌ
فَسَوْفَ نُصْلِيْهِ نَارٌا وَ كَا نَ ذَلِكَ عَلىَ اللهِ يَسِيْرٌا
“ Dan janganlah kamu
membunuh dirimu (sendiri). Sesungguhnya Allah SWT Maha Penyayang kepadamu. Dan
barang siapa berbuat demikian dengan melanggar
dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam api neraka. Yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
Dalam komentarnya mengenai ayat ini, Imam Fakhrurazi menyatakan bahwa
secara fitrah, manusia beriman tidak akan melakukan tindakan bunuh diri. Akan
tetapi dalam kondisi tertentu misalnya karena frustasi, mengalami kegagalan,
dan sebagainya akan terbuka peluang cukup besar untuk melakukannya. Dalam
rangka itulah Al Qur’an melarang keras kaum mukminin untuk melakukan bunuh
diri. Karena alasan itu pula, seseorang pesakitan dalam Islam dianjurkan untuk
segera berobat. Sebab, orang berobat pada hakikatnya dalam rangka
mempertahankan kehidupannya
Beberapa fuqaha terkait masalah berobat sebagian besar dari mereka
berpendapat mubah, sebagian kecil menanggapnya mustahab dan sebagian kecil
lebih sedikit dari golongan kedua berpendapat wajib. Dalam hal ini saya
sependapat dengan yang ketiga yaitu mewajibkan berobat.
Apabila ada seseorang yang sakit dan tidak berobat, hal itu dilakukan
karena orang tersebut sudah pasrah total kepada Allah SWT., menurut kami hal
tersebut tidak di benarkan, karena seseorang yang sakit harus berusaha mencari
obat untuk kesembuhan penyakitnya, jika sudah berusaha semaksimal mungkin namun
belum mendapat kesembuhan maka bertawakkal kepadaNya. Dalam soal muamalah duniawiyah, muncul kaidah ushuliyyah “Asal segala
sesuatu boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.
Secara
Global kalangan Syafi’iyah dan jumhur Ulama membagi pidana pembunuhan menjadi
tiga yaitu :
- Pembunuhan Secara Sengaja (al qatl al’amd)
Yakni
pembunuhan yang dilakukan secara sengaja menggunakan alat atau benda yang
biasanya dapat mematikan. Seperti menggunakan pisau, sabit, besi, dan racun.
- Pembunuhan Semi Sengaja (al qatl al syabih al ‘amd)
Yakni
pembunuhan secara sengaja dengan menggunakan benda yang biasanya tidak
mematikan. Misalnya memukul secara pelan dengan menggunakan cambuk atau tangan.
- Pembunuhan Keliru (al qatl al khatha’)
Artinya pembunuhan yang dilakukan secara tak sengaja. Misalnya
seseorang jatuh mengenai orang lain kemudian orang tersebut meninggal.
Euthanasia aktif masuk dalam kategori pembunuhan sengaja, karena dokter
melakukan hal itu secara sengaja dan jelas jelas menggunakan obat yang dapat
mempercepat kematian pasien. Konsekuensinya dalam hal ini dokter mendapat
hukuman Qishash(hukuman mati karena membunuh). Kemudian,
Euthanasia Positif yaitu inisiatif untuk
melakukan euthanasia timbul dari pasien. Maka dokter dikenai ta’zir.
Dalam hal ini hukuman diserahkan penuh atas kebijakan hakim. Sedangkan pasien
dianggap melakukan bunuh diri.
Dalam Islam prinsipnya
segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja
atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan;
sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim
kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah
berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh
seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang
yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia
harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya” (HR Abu
Dawud dan An-Nasa’i).
Menurut
kami sependapat dengan hadits di atas,terkait kasus euthanasia baik aktif
maupun pasif tidak diperbolehkan, karena hal tersebut merampas hak untuk hidup
seseorang. Hak hidup yang pada dasarnya hak fundamental atau hak asasi dari
setiap manusia. UUD tahun 1945 melindungi hak tersebut dalam BAB XA pasal 28 A yang
menyebutkan yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan
hidup dan kehidupannya.
Selain itu dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia,
karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa
ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter
menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu
sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana
di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
PENUTUP
Transplantasi (pencangkokan) adalah
pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan
organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik. Transplantasi
dikelompokkan menjadi tiga yaitu donor dalam keadaan hidup sehat, donor dalam
keadaan koma, donor dalam keadaan meninggal. Donor anggota tubuh itu
diperbolehkan kecuali ada larangannya. Dengan begitu ketiga jenis donor
tersebut diperbolehkan. Proses transplantasi dapat dilakukan dengan berbagai
alasan yaitu : tidak mendatangkan bahaya (mudharat) bagi pendonor dan penerima
donor, antara pendonor dan penerima donor sama-sama ikhlas dan rela mendonorkan
dan menerima donor tersebut, harus ada izin dari yang punya dan ahli waris, dan
organ yang disumbangkan haruslah organ yang ditentukan dapat menyelamatkan atau
mempertahankan kualitas hidup penerima donor. Selain itu ada donor dengan
menggunakan organ babi. Menurut Hanafiyah, berobat dengan barang haram, tidak dibolehkan.
Memang ada dhahir hadits yang melarangnya, yaitu: “Sesungguhnya Allah tidak
menjadikan obat bagi kalian didalam sesuatu yang haram.”
Sedangkan Euthanasia merupakan
menghilangkan derita si Sakit dengan jalan mengakhiri kehidupannya. Euthanasia
dikelompokkan menjadi dua macam yaitu euthanasia aktif (dokter mempercepat
kematian pasien dengan cara memberikan suntikan atau racun ) dan euthanasia
pasif (penghentian pengobatan terhadap pasien).
Kedua euthanasia ini tidak di boleh dilakukan
menurut Islam karena Penderita yang menghabisi nyawanya dengan tangannya
sendiri atau bantuan orang lain(dokter) itu berarti ia mendahului atau
melanggar kehendak dan wewenang Tuhan. Al Qur’an melarang keras kaum mukminin untuk
melakukan bunuh diri. Karena alasan itu pula, seseorang pesakitan dalam Islam
dianjurkan untuk segera berobat. Sebab, orang berobat pada hakikatnya dalam
rangka mempertahankan kehidupannya
Beberapa fuqaha terkait masalah
berobat sebagian besar dari mereka berpendapat mubah, sebagian kecil
menanggapnya mustahab dan sebagian keci lebih sedikit dari golongan kedua
berpendapat wajib. Dalam hal ini saya sependapat dengan yang ketiga yaitu
mewajibkan berobat.Seharusnya ia bersikap sabar dan tawakkal menghadapi
musibah, seraya tetap berikhtiar mengatasi musibah dan berdoa kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hafidz, Ahsin W. FIKIH
KESEHATAN. 2010. AMZAH. Jakarta
Umam, Cholil. Agama Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern.
1994. Ampel Suci. Surabaya
Yasid, Abu. Fiqh Realitas Respon Ma’had Ali Terhadap Wacana Hukum
Islam). 2005. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam. 1989.
Haji Mas Agung. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar